Kenapa Manusia Perlu Pendidikan


*Berikut ini adalah naskah pidato yang saya sampaikan pada pertemuan guru dan wali murid di sekolah internasional Gunes, Kocaeli, Turki, yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 September 2019. Tapi kok pake bahasa Indonesia? Ini versi Indonesianya. Tentu saja ketika berpidato saya menggunakan bahasa Jawa Turki.

Yang saya hormati,

Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, para guru, dan para wali murid sekalian.

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Anda semua atas kedatangan pada pagi hari ini ke acara sarapan dan rapat bersama. Mudah-mudahan acara ini bisa semakin mempererat tali persahabatan dan persaudaraan antara sekolah dan wali murid.

Kedua, saya juga berterima kasih kepada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan para guru yang telah membuat saya merasakan sekolah ini sebagai rumah kedua, dan Turki sebagai Tanah Air kedua untuk saya.

Perkenalkan, nama saya Ibnu Rusyd. Saya berkebangsaan Indonesia, dan saat ini berusia 27 tahun. Saya tiba di Turki pada tahun 2015 setelah saya menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Negeri Jakarta, Indonesia. Saya lulusan dari Jurusan Ilmu Agama Islam.

Selama tiga tahun, dari 2015 hingga 2018 saya menjalani pendidikan tinggi keislaman saya di Turki; di lembaga pendidikan Islam Tekamul.  Setelah lulus dari Tekamul, saat ini kami ditugaskan untuk mempelajari dan menguasai sistem dan teknik pendidikan serta manajemen sekolah. Dan proses itu saat ini kami jalani di sekolah kita tercinta, Gunes Okullari.

Insya Allah, dengan izin Allah Swt, setelah melalui proses itu di sini kami akan kembali ke Tanah Air Indonesia untuk menerapkan apa yang sudah kami peroleh dengan cara membuka sebuah sekolah.

Pada kesempatan ini izinkan saya untuk berbicara dari hati kepada kalian semua sebagai wali murid, dan saya sebagai murid.

Mungkin Allah telah menasibkan kepada saya untuk menjadi guru, dan kelak menjadi manajer sekolah. Namun, setiap kali melihat Anda sekalian, saya hanya teringat kepada ibu dan bapak saya, juga kepada guru-guru saya dahulu; yang telah banyak berperan membesarkan dan mendidik saya. Meskipun saya akui ada banyak harapan mereka yang belum mampu saya penuhi.

Saya masih ingat, sekitar tahun 2007 ketika masih duduk di bangku SMP, di sekolah kami dilaksanakan Psiko-Tes. Ujian yang berusaha mengungkap tingkat kecerdasan, terutama kecerdasan akademik seorang anak. Saat itu, mohon maaf jika saya salah, dari hasil tes yang ada, nilai yang menunjukkan bahwa kecerdasan akademik seorang anak adalah baik; adalah angka 100-150. Sangat baik adalah 150-200. Dan kurang baik adalah 50-100. Dan saya hanya memperoleh nilai 90.

Berdasarkan itu semua para orang tua dan guru bersikap kepada anak-anak. Mereka yang memperoleh angka baik dan sangat baik mendapat banyak sekali dukungan dan harapan akan masa depan mereka yang cemerlang. Sementara kami, yang berkeadaan kurang baik harus dinomor-duakan, dan bahkan tidak memperoleh motivasi agar berhasil masuk ke SMA (jurusan) IPA. Kala itu guru saya berkata, “Kamu tidak mungkin melanjutkan ke SMA IPA.”

Saya beruntung memiliki orang tua yang tidak pernah memaksakan sesuatu kepada anaknya. Mereka mengirim saya ke sekolah supaya saya bisa menjalani kehidupan normal, bergaul dengan sesama manusia, dan memiliki karakter terpuji.

Belum pernah saya dengar mereka meminta supaya saya menjadi rangking satu di kelas, di sekolah, apalagi di dunia. Mungkin karena mereka tahu bahwa saya tidak mampu.

Ayah saya adalah seorang guru, dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Dengan segala keterbatasannya, mereka dapat membuat saya dan kakak perempuan saya bersekolah hingga universitas.

Ibu dan bapak tidak pernah marah jika nilai saya merah di rapor. Mereka hanya berkata bahwa pada pelajaran ini kamu harus lebih giat lagi.

Ibu dan bapak hanya marah apabila saya malas pergi sekolah, malas bangun pagi, malas sikat gigi, atau malas mendirikan shalat. Mereka juga akan marah jika saya berbuat jahat kepada orang lain.

Mereka tidak pernah membandingkan antara saya dan kakak saya, atau dengan murid lain dan anak tetangga. Dengan lisan maupun perbuatan, ibu dan bapak setiap hari memberi dukungan moril dan materil kepada saya supaya bisa menjalani kehidupan normal di sekolah.

Atmosfer kehidupan di rumah juga sangat kondusif. Rumah menjadi tempat kami pulang dan bercerita dengan keluarga. Sekolah menjadi tempat kami beraksi, berekspresi, berinteraksi dengan guru, dan terutama sekali, bermain dengan teman.

Begitulah menurut saya seharusnya pendidikan. Setelah roti (orang Turki makanan pokoknya adalah roti, kalau di Indonesia, nasi) dan air, pendidikan adalah kebutuhan utama umat manusia.

Kenapa manusia butuh pendidikan? Bukan untuk membuat kita menjadi kaya. Bukan untuk membuat kita menjadi terkenal. Bukan untuk membuat kita mendapat pujian. Itu semua bukan kebutuhan hakiki manusia. Kita membutuhkan pendidikan supaya kita mengetahui dan menguasai cara dan perilaku terpuji. Supaya kita bisa menjadi anak yang baik untuk orang tua, murid yang baik untuk guru, warga negara yang baik untuk negara, dan hamba yang taat kepada Allah Swt.

Lihatlah binatang. Anjing lebih pintar daripada kucing. Lumba-lumba lebih pintar daripada kura-kura. Semut lebih pintar dari kutu. Elang lebih pintar dari kupu-kupu. Di antara binatang selalu saja ada yang lebih pintar dari yang lain. Selalu ada yang lebih ahli dari yang lain. Lebih pintar mencari makan, lebih pintar berenang, lebih pintar terbang, dan seterusnya, dan seterusnya.

Namun, tetap saja mereka binatang. Tetap saja mereka saling membunuh, saling menginjak, dan saling merampas. Tujuan hidup mereka adalah mempertahankan diri dalam kehidupan dunia dengan cara apa pun, memakan apa pun, merampas apa pun, dan melawan siapa pun.

Apa yang membedakan kita dari mereka? Hati! Hati adalah pembeda kita dari mereka. Hati yang di dalamnya terdapat dua mutiara berkilau: iman dan cinta. 

Dengan hatilah manusia beriman kepada Allah Swt setelah memahami keberadaan dan kekuasaannya. Dengan hati yang sama juga manusia mencintai Allah Swt, para Nabinya, para hambanya, dan umat manusia.

Dengan hati yang berisi iman dan cinta, seorang arsitek, insinyur, dokter dan pengacara, bekerja bukan untuk memperkaya diri sendiri, tapi untuk menjalankan perintah Allah dan bermanfaat kepada sebanyak mungkin umat manusia.

Dengan hati kita tidak menjadikan ilmu pengetahuan dan kecerdasan sebagai alat menindas dan membunuh, layaknya singa yang menjadikan kuku, taring, dan kecepatannya sebagai alat untuk membunuh.

Kita semua pernah kecil; pernah menjadi murid. Para orang tua sudah seharusnya berempati kepada anak-anak ketika mengirim mereka ke sekolah untuk menuntut ilmu. Semua guru sudah seharusnya berempati kepada anak-anak dengan membantu mereka mengembangkan dirinya menjadi manusia dewasa.

Di masa depan mereka bisa menjadi apa saja. Tugas kita bukan memaksa mereka untuk menjadi apa, melainkan membantu mereka menjalani masa kecil dan mudanya dengan penuh kebahagiaan, sambil memberikan pendidikan ilmu pengetahuan, serta pelatihan keterampilan yang dapat membantu mereka bermanfaat bagi bangsa, negara, dan agamanya. Itulah pendidikan. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Berlebihan dalam Urusan Dunia dan Agama

Keteladanan Dari Cak Nur ( Islam, Agama Manusia Sepanjang Masa)

Kata Rasul, Tsumma istaqim