Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2012

Inilah Kami, CendekiAksi

Gambar
CendekiAksi, nama yang menunjukkan keseimbangan dan kemapanan. Dia hidup di tengah-tengah aliran pikiran dan perasaan mahasiswa. Dia tidak ke kiri, pula enggan ke kanan. Namanya betul-betul mencerminkan dirinya. CendekiAksi punya mimpi menyeimbangkan. Baginya mahasiswa bukan hanya status bergengsi sebagai intelektual muda. Baginya juga mahasiswa bukan sebatas aktivis lapangan. Baginya mahasiswa adalah keduanya. Mahasiswa adalah cendekiawan sekaligus aktivis. Baginya mahasiswa adalah CendekiAksi. Semangat CendekiAksi muncul dari keresahan, kegundahan, dan kegalauan. Waktu itu tiga orang mahasiswa S1 semester 3 Jurusan Ilmu Agama Islam Universitas Negeri Jakarta, maju, berani melawan arus. Ketika yang lain nyaman dengan kejumudan – kalau tidak mau mengatakan kebodohan, ketiga anak ini justru sebaliknya. “Kami datang ke kampus bukan untuk sia-sia” kata mereka. Semangat mereka jelas adalah semangat perubahan. Mereka bertiga, tanpa akta, tanpa notaris, tanpa materai, menandatangani pe

Buat Apa Menulis?

Lagi-lagi ada gap antara das sein dan das sollen . Nyatanya minat menulis mahasiswa kini melemah. Padahal sebagai akademisi dan peneliti muda, tulis menulis sudah seharusnya menjadi kegiatan rutin dan wajib bagi mahasiswa. Perkuliahan bukannya tidak merangsang mahasiswa untuk menulis, tapi gara-gara mental konsumtif dan pragmatis mahasiswa lebih suka meng- copy tulisan yang sudah ada, yang beredar di dunia maya supaya tugas paper- nya selesai. Tapi buat mereka yang serius dalam studinya, yang punya idealisme dan semangat kejujuran tinggi pasti akan berusaha melatih kemampuan menulisnya. Mereka berusaha sekuat tenaga agar setiap tugas paper yang dosen berikan mampu diselesaikan. Bukan dengan menjiplak karya orang lain, tapi dengan menghasilkan karya otentik. Mengapa demikian? Karena bagi mereka masa kuliah ini tidak boleh disia-siakan. Mereka sungguh-sungguh ingin lulus sebagai mahasiswa berkualitas, bahkan yang terbaik. Terampil dalam menulis akan membawa mahasiswa mampu

Islam is not a Terrorist Religion

Gambar
By Ibnu Rusyd “Oh Our Prophet, please allow me to follow you on the line of battles, fight to protect Islam,” asked a young man to Prophet Muhammad. “Do you have mother and father who are still alive?” asked The Prophet. “Yes, I do have, Our Prophet.” “If it is like that, your holy war is to be dutiful to your parents. The reward is as the same as you follow me to go to the battles.” “Oh my Sahaba (companions), you should know we just arrived from jihadul ash-ghar to jihadul akbar .” “Is there any bigger jihad than this Badr War, Oh Prophet of Allah?” asked the Sahaba (companions). “The biggest jihad is jihad to fight your desire.” Abu Bakr cried when he was feeding a blind-Jewish granny on the edge of Madinah market town. Evidently, the granny who was always fed by Prophet Muhammad without his known, also always humiliated Prophet Muhammad to whomever passing by in front of her. Abu Bakar cried, it was the Prophet’s morals, behave friendly and kindly to whoever