Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Islam Bukan Agama Teroris

“Ya Rasul, izinkan aku ikut bersamamu di barisan perang, berjuang membela agama Allah,” pinta seorang pemuda kepada Nabi Muhammad.   “Apakah kau punya ibu dan bapak yang masih hidup?” tanya Rasul. “Punya wahai Rasul”. “Jika begitu, jihadmu adalah berbakti kepada keduanya. Pahalanya sama dengan ikut berperang bersamaku.” “Wahai sahabatku, ketahuilah, kita baru saja pulang dari jihad terkecil (jihadul ash-ghar), menuju jihad terbesar (jihadul akbar).” “Apakah ada jihad yang lebih besar dari perang Badr ini wahai Nabi?” tanya sahabat. “Jihad terbesar adalah, jihad melawan hawa nafsu kalian.” Abu Bakr menangis ketika menyuapi seorang nenek Yahudi buta di pinggir pasar kota Madinah. Ternyata, si nenek yang selama ini selalu diberi makan oleh Rasul tanpa sepengetahuannya, juga selalu menghina Rasul kepada siapa saja yang lewat dihadapannya. Abu Bakar menangis, inilah akhlak Rasul, berlaku ramah dan penyayang kepada orang yang gemar menghinanya sekalipun. “Wahai umatku, tidaklah aku

Mahasiswa; Pulang Kampung Membangun Daerah

Gambar
Oleh Ibnu Rusyd Khusus untuk mengetahui perihal mahasiswa yang pulang kampung untuk membangun daerahnya, saya sengaja mewawancarai tiga orang teman, yang memang termasuk golongan mahasiswa perantauan. Mereka – berturut-turut – berasal dari Banjarnegara, Kediri dan Banyumas. Dari ketiganya saya berhasil mengetahui, bahwa memang ada niat dari mereka untuk kembali ke kampung, bahkan membangunnya. Dari teman yang berasal dari Banjarnegara (seorang mahasiswa ekonomi), hal ini bukan lagi disebutnya sekadar niat, melainkan telah menjadi idealisme. Dia punya prinsip; setelah sukses menimba ilmu di ibukota, bahkan hingga jenjang tertinggi, dia akan kembali untuk membenahi keadaan ekonomi rakyat desanya, dengan langkah mengoptimalkan segala potensi SDA dan SDM di daerah, yang menurutnya masih banyak yang belum teroptimalisasi. Sementara teman yang datang dari Kediri berkeinginan melakukan desentralisasi lembaga kesehatan. Selama ini – menurutnya – rumah sakit-rumah sakit besar

Kita Yakin Tidak Pancasila itu Sakti?

Gambar
Oleh Ibnu Rusyd google Buat orang Indonesia, kata sakti begitu familiar. Kata ini punya arti hebat, super bahkan hyper . Berbicara soal sakti, baru saja kita melewati peringatan nasional hari kesaktian Pancasila. Kenapa bisa diberi nama hari kesaktian, padahal pada hari itu yang terjadi adalah tragedi. Mungkin maksudnya adalah, meski pada 30 September 1965 waktu itu kelompok Komunis hampir menang, nyatanya para pahlawan yang menjadi korban tragedi itu tetap kokoh mempertahankan bangsa, dan ideologi khasnya: Pancasila. Di sinilah letak saktinya Pancasila kita. Alih-alih mau dihapuskan, Pancasila justru menyelamatkan kehidupan bangsa ini. Yah, bangsa yang kuat memang selalu dibangun di atas ideologi yang juga kuat. Jangankan bangsa, seorang individu hanya akan menjadi orang lemah tak berdaya jika dia tak punya prinsip dan landasan hidup. Dia akan mudah terombang-ambing terbawa arus-arus pikiran negatifnya. Dulu ada Jerman dengan Nazinya,yang entah mau dibilang apa, ya