Keuntungan Terbesar Masuk JIAI adalah Kebodohan

*Naskah pidato Ibnu Rusyd, wisudawan terbaik Jurusan Ilmu Agama Islam, Universitas Negeri Jakarta, tahun 2015. Disampaikan pada acara Pelepasan Purna Bhakti dan Pengukuhan Wisudawan Jurusan Ilmu Agama Islam, di Gedung Sertifikasi Guru Universitas Negeri Jakarta, Rabu 11 Februari 2015. (Sebenarnya sih bukan wisudawan terbaik, soalnya gak ada yang bilang begitu. Tapi karena udah disuruh maju pidato, supaya agak keren anggap aja wisudawan terbaik. Oh iya, ketiak ketika saya berpidato kala itu, ada satu mahasiswi angkatan baru yang ikut menyaksikan pidato saya, dan kini menjadi pendamping hidup saya)


Hasil gambar untuk UNJSaya berdiri di podium ini dalam kapasitas saya sebagai perwakilan para calon wisudawan. Hal itu berarti bahwa ada dua pihak yang sedang saya wakili. Pertama, rekan-rekan sesama mahasiswa tingkat akhir yang insya Allah pada pertengahan bulan Maret nanti, atau sekitar satu bulan dari sekarang, juga pada bulan September di tahun yang sama, akan resmi diwisuda, dan resmi menjadi sarjana. Kedua adalah rekan-rekan sesama mahasiswa yang masih menjalani tingkat awal dan pertengahan, yang insya Allah akan secepatnya diwisuda, dan secepatnya menjadi sarjana agama.

Judul valedictorian speech atau pidato wisudawan yang saya angkat adalah, “Keuntungan Terbesar Masuk JIAI adalah Kebodohan.” Judul ini diangkat berdasarkan pertanyaan besar bagi saya, dan mungkin bagi rekan-rekan sekalian bahwa, “apa untungnya saya belajar di JIAI?” “Apa manfaatnya saya menjadi mahasiswa JIAI?” Mungkin, seharusnya pertanyaan ini sudah terjawab pada masa-masa awal menjadi mahasiswa JIAI di UNJ ini. Sebab dengan begitu maka kita akan lebih menyenangi kegiatan menuntut ilmu di JIAI, karena kita tahu untungnya apa. Namun, waktu yang cukup panjang telah melalaikan kita semua, sehingga nilai manfaat dan keuntungan dari belajar di JIAI sama sekali tidak dipedulikan. Akhirnya kegiatan kuliah sehari-hari layaknya seorang Muslim yang melaksanakan shalat namun lalai dari shalatnya itu. Kata Allah dan Rasul-Nya, orang seperti ini akan memperoleh kecelakaan hidup, dan tidak mendapat apa pun dari shalatnya kecuali kelelahan.

Kalau begitu apa untungnya masuk JIAI? Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam. Sebagian besar merasa sudah mendapat manfaat dari kuliah di JIAI apabila sesudah lulus, kemudian memperoleh ijazah, atau bahkan akta, untuk melamar pekerjaan atau mengajar di sekolah. Mereka menganggap hal tersebut sebagai orientasinya. Namun saya menolak untuk setuju dengan pendapat ini. Sebab jika demikian, apa bedanya mahasiswa atau lulusan JIAI dengan mahasiswa pada umumnya. Lalu yang lain menganggap bahwa memperoleh banyak teman, dan kesempatan berkegiatan di berbagai tingkatan organisasi, adalah suatu keuntungan. Lagi-lagi saya tidak sependapat, dengan alasan yang sama. Kalau begitu apa gerangan kentungan masuk JIAI bagi saya? Keuntungan yang hanya diperoleh dengan belajar di JIAI. Keuntungan yang spesial diberikan oleh JIAI kepada civitas academica-nya.

Menurut saya, keuntungan terbesar masuk JIAI adalah kebodohan. Hal paling berharga yang diberikan oleh JIAI kepada mahasiswanya adalah kebodohan. Apa maksudnya? Hal ini berarti bahwa dengan menuntut ilmu di JIAI, maka seorang mahasiswa Muslim akan menemui dan memahami fakta betapa luas dan beragamnya Islam itu, baik dari segi ajaran normatifnya, pemahaman terhadapnya, perilaku (behaviour) dan kebiasaan umatnya, hingga perkembangan peradaban Islam itu sepanjang sejarahnya. Kenyataan maha kaya ini mau tidak mau membuat siapa pun mahasiswa JIAI yang waras untuk menengok kembali pemahaman pribadinya tentang Islam, atau juga merenungkan kembali otentisitas imannya. Dan dengan itu semua, siapa pun mahasiswa JIAI akan mengakui betapa miskin sebenarnya kebanggaannya sebagai seorang Muslim. Betapa kerdil asupan pengetahuannya tentang Islam selama ini, yang mana dengan pengetahuan yang kerdil tersebut ia merasa sudah membela agama. Dengan kata lain, betapa bodohnya ia sebenarnya dalam memahami agamanya sendiri.

JIAI menunjukkan kepada kita Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Islam yang bukan hanya hukum atau fikih-nya saja. Islam yang bukan hanya shalawatan-nya saja. Islam yang bukan hanya jenggot dan baju gamis saja. Apalagi Islam yang hanya melulu mentoring saja. Namun Islam dalam bentuknya yang paling utuh. Bersama Pak Noor Rachmat kita diajak menjelajahi alam pikiran teologis Islam yang beragam, yang menjadi pembentuk pola pikir dan pola hidup manusia Muslim sepanjang sejarah. Mulai dari teologi pemalas, sampai teologi yang dikendalikan sepenuhnya oleh akal dan kerja keras. Juga dengan Pak Noor, melalui mata kuliah studi agama-agama, kita melihat betapa agama yang beragam itu sebenarnya memiliki titik temu yang menjadi kata sepakat dan menjamin hubungan harmonis mereka. Pak Noor juga yang mengajarkan bahwa ada banyak metodologi yang bisa dipakai untuk mengkaji dan memahami Islam. Islam bisa didekati dengan perspektif hukum, kalam, mistis, sosiologis, filosofis, dan seterusnya. Bersama Pak Chudlori Umar kita menelusuri kedalaman ‘ulum al-qur’an. Bahwa dialek Al-Quran itu beragam, adanya teori muhkam dan mutasyabih, yakni mana ayat yang secara jelas menjadi patokan penafsiran, dan mana yang secara bebas dapat diinterpretasikan. Juga bersama Pak Chudlori kita yang terbata-bata mengeja huruf hijaiyyah, dengan segala kesungguhan dan kerendahan hati, belajar untuk menafsirkan Al-Quran secara tahlili

Bersama Pak Andy kita disuruh mahir berbahasa Arab, hingga mampu selayaknya dia dalam membedah banyak kitab. Dia tidak tahu bahwa membedakan mana huruf ya’ dan ta’ saja kita kesulitan. Namun bukan Pak Andy jika tidak mampu menginspirasi anak didiknya. Dia selalu menekankan bahwa dahulu dirinya sama seperti kita, sulit berbahasa Arab. Lalu kunci yang dia berikan kepada kita, jika ingin mahir berbahasa Arab adalah dengan selalu membawa kamus dan buku berbahasa Arab. Selalu meletakkan kamus bahasa Arab di bawah bantal ketika tidur. Membeli banyak kitab berbahasa Arab meski belum mampu membacanya. Katanya, itu semua supaya rasa cinta tumbuh terhadap bahasa Arab. Semua sudah saya praktikkan. Namun bukannya rasa cinta yang tumbuh, malah rasa sedih, sebab banyak sudah uang dikeluarkan membeli buku, akan tetapi lidah masih saja kaku. Namun poin utamanya di sini adalah, lihatlah bahwa memahami Islam tidak cukup hanya dari satu-dua buku, dari satu-dua majelis ta’lim, dari satu-dua kali mentoring, dan dari satu-dua bahasa saja. Memahami Islam begitu sulit, dan JIAI menyadarkan kita bahwa sebenarnya kita tidak tahu apa-apa tentang agama kita kecuali sangat sedikit.

Saya sangat sedih melihat upaya boikot dari banyak mahasiswa UNJ yang shaleh dan shalehah terhadap JIAI yang kala itu melaksanakan seminar tentang aliran Islam Syi’ah. Mereka beranggapan Syi’ah itu kafir, dan JIAI karena melaksanakan dialog terbuka dengan Syi’ah dianggap pendukung kekafiran. Saya juga sedih melihat banyak mahasiswa UNJ yang shaleh dan shalehah itu yang merasa anggapannya tentang Islam sudah benar. Hanya dengan mengutip situs ini dan itu, mereka secara simplistis berani mengkafirkan Muslim lainnya. Mahasiswa JIAI tidak seperti itu. Sudah seharusnya tidak seperti itu. Kita tidak akan terburu-buru menghakimi seseorang, sebab yang paling pertama harus dihakimi adalah pikiran, anggapan, dan pendapat kita sendiri. Apakah cukup berargumen dengan satu-dua situs dengan label Islam, dakwah, dan lain-lain. Apakah cukup berargumen dan mengkafirkan sesama Muslim hanya karena mendengar fatwa seorang ustadz. Mahasiswa JIAI tidak akan seperti itu. Bahkan kita tidak akan pernah merasa cukup meski sudah mengkaji ribuan kitab. Kita tidak akan merasa paling benar meski sudah melihat Islam secara luas. Mahasiswa JIAI mempunyai sikap seperti Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa jika nampak satu tanda kekafiran menurutmu pada diri seorang Muslim, maka lihatlah banyak tanda keimanan padanya. Jika kau melihat banyak tanda kekafiran padanya, maka perhatikanlah satu tanda keimanan darinya.

Pada akhirnya kita bersyukur pernah menjadi bagian dari JIAI, yang telah menelanjangi kita, dan menunjukkan kebodohan kita tentang agama kita sendiri. Namun meski keuntungan terbesar yang JIAI berikan kepada kita adalah kebodohan ini, namun bukan itu tujuannya. Tujuan dari kita menyadari kebodohan diri sendiri adalah, supaya bergegas untuk menambal kebodohan itu dengan ilmu. Meminta kepada Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad juga meminta, agar ditambahkan ilmu. Juga bertujuan supaya tidak seorang pun Muslim yang kita caci sebab kebodohan kita. Betapa banyak orang yang merendahkan sesamanya, dengan alasan pengetahuannya. Padahal apa yang dia ketahui hanya sedikit. Dan jauh lebih buruk lagi, kata Allah, adalah orang-orang yang melakukan kesalahan namun merasa benar. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan tersebut. Semoga Tuhan memasukkan kita ke dalam golongan yang tidak henti-hentinya belajar dan memperbaiki pengetahuan, sikap, dan karakter dirinya. Bahkan Nabi Muhammad meminta supaya selalu ditunjuki jalan yang lurus dan ditambahi ilmu, maka apa pantas kita yang bukan siapa-siapa merasa sudah pintar, sehingga malas membuka buku dan malas belajar lagi. Menjadi seorang sarjana agama, bukan berarti menjadi orang yang paling paham agama. Menjadi seorang sarjana agama, berarti menjadi yang paling bertanggung jawab menjaga nama baik agama. 

Wallahu a’lamu bish shawab.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Berlebihan dalam Urusan Dunia dan Agama

Keteladanan Dari Cak Nur ( Islam, Agama Manusia Sepanjang Masa)

Kata Rasul, Tsumma istaqim