Al-Quran Rasa Jawa

Membaca dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan langgam (Arab: naghmah) atau nada Jawa apakah diperbolehkan? Hal ini mencuat di publik setelah perayaan Isra’-Mi’raj tahun ini yang diselenggarakan di Istana Negara, yang diisi dan dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran menggunakan nada Jawa, bukan Arab yang lazimnya masyhur di masyarakat. 

Pendapat kami, sejauh ini belum ada keterangan yang melarang untuk melantunkan ayat suci Al-Quran dengan nada Jawa ini. Dalam khazanah ilmu tata baca Al-Quran yang dikenal sebagai Ilmu Tajwid, yang di dalamnya membahas batas-batas minimum benar-tidaknya suatu pembacaan, atau batas-batas nir-toleransi, yang diatur adalah ketentuan mengenai panjang-pendeknya (mad) huruf tertentu dalam posisi tertentu, serta bagaimana teknik melafalkan (talaffuzh) huruf-huruf Hijaiyah, yang secara langsung berkaitan dengan penguasaan wawasan tentang makharij al-huruf (posisi fisiologis organ tubuh yang darinya bunyi-bunyi tertentu huruf-huruf Hijaiyah muncul atau keluar).

Di luar Ilmu Tajwid ada yang dinamakan dengan Ilmu Qiraat, yang turut dijelaskan secara ringkas dalam ‘Ulum al-Quran, sebagai ilmu yang membahas dan mengajarkan penguasaan tujuh macam (di lain riwayat sepuluh macam) teknik pembacaan (qiraah) yang masing-masing berbeda, namun diakui sebagai mu’tabarah (legitimate). Adapun nada (naghmah) ini biasanya dikenal dalam teknik pembacaan murattal (dari tartil, salah satu teknik dasar membaca Al-Quran). Di sini akan ditemukan juga keragaman (plurality), seperti yang umumnya dikenal pada bacaan-bacaan khas tokoh-tokoh tertentu, seperti referensi Arab mutakhir yang meliputi Syaikh Sudais, Syaikh Syuraim, dan lain-lain. Kesemuanya berbeda, namun tetap berada dalam koridor kaidah minimum, seperti yang terungkap dalam Ilmu Tajiwd, yang tepat. Dalam hal ini, status yang sama juga terjadi pada cara bacaan dengan nada Jawa yang baru-baru ini dilakukan Ustadz Muhammad Yaser Arafat di Istana Negara. Dalam bacaannya dengan jelas tampak kesesuaian dalam hal talaffuzh, makharij, maupun mad-nya. Yang berbeda adalah lantunan lagu atau nadanya sangat khas Jawa.

Namun demikian, bagi yang tidak setuju dengan pembacaan Al-Quran bernada Jawa ini, beralasan dengan mengajukan sebuah keterangan hadits Nabi Muhammad Saw yang dikeluarkan oleh Tirmidzi. Keterangan itu menyatakan bahwa Nabi Saw bersabda: “Bacalah Al-Quran dengan lagu  (bi-luhun-i) orang Arab dan suaranya (ashwatiha). Jauhilah lagu Ahli Kitab dan orang-orang fasik. Sungguh akan datang sesudahku orang-orang yang membaca Al-Quran dengan bernanyi dan melenguh, tanpa melampaui tenggorokan mereka. Hati mereka tertutupi fitnah, juga hati orang-orang yang mengaguminya.” Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan berkaitan dengan keterangan ini:

1. Bagaimanakah status hadits ini setelah di-takhrij dengan metode yang diatur dalam ‘Ulum al-Hadits dan Al-Jarh wa al-Ta’dil? Hal ini perlu dilakukan supaya manusia tidak sembarangan mengatasnamakan Nabi Yang Mulia atas pendapat-pendapat yang belum absah kebenarannya, ditelisik melalui ilmu-ilmu yang mu’tabarah.

2. Jika keterangan ini dapat diterima dari segi sanad dan rawi-nya, apakah matan-nya bisa lepas begitu saja tanpa penyelidikan?

3. Dengan menyelidiki matan-nya, apakah yang dimaksud dengan luhun (isim mashdar [verba-noun] dari lahana) ini? Jika menengok kamus bahasa Arab, semisal Kamus A-Munawwir, maka luhun ini bisa bermakna lagu (naghmah), dialek (lahjah), serta kesesuaian i’rab. Dengan demikian maka, pembacaan dengan lagu Jawa jelas berbeda dengan lagu Arab, namun lagu Jawa ini jelas tetap mematuhi koridor pokok i’rab dan tata bahasa Arab. Maksudnya tidak ada kaidah bahasa Arab yang dilanggar oleh naghmah Jawa.

4. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, luhun setidaknya mengandung tiga makna. Dan pada makna yang ketiga, naghmah Jawa yang tetap sesuai dengan i’rab Arab dapat dikategorikan sebagai sah dan boleh untuk digunakan. Sementara pada makna kesatu dan kedua, jelas berbeda dengan naghmah Jawa, sebab itu sudah merupakan identitas masing-masing yang justru menjadi alamat dan ciri khasnya. Tidak perlu repot-repot menjelaskan kenapa perbedaan keduanya terjadi.

5. Sebagaimana perlunya mengetahui kedudukan luhun, begitu pula perlu untuk mengetahui apa itu lagu (luhun)-nya Ahli Kitab, dan seperti apa itu luhun-nya orang fasik yang dilarang.

6. Yang seharusnya menjadi pokok perhatian, menurut kami, justru adalah keterangan selanjutnya, bahwa hendaknya masyarakat Muslim tidak menjadikan Al-Quran sebagai bahan nyayian belaka, atau membacanya dengan penuh syahdu yang dibuat-buat, tidak asli dan tidak tulus, dan tidak menghayati makna yang dikandungnya. Inilah setidaknya makna bahwa ayat-ayat yang dibaca tidak sampai melewati tenggorokannya.

Dengan demikian, apabila mengikuti hujjah keterangan hadits yang dikutip di atas, maka penggunaan naghmah Jawa sama sekali tidak menyalahi luhun Arab. Dalam hal ini meskipun berbeda, naghmah atau nada Jawa dapat dikategorikan equivalent dari luhun Arab, sehingga pada hakikatnya tidak ada perbedaan pokok (ashl) di sini, melainkan hanya perbedaan partikular (far’u).

Keragaman cara membaca Al-Quran ini tampaknya telah menjadi kekayaan estetis tersendiri bagi khazanah peradaban Islam. Sebab, selain di Indonesia yang salah satunya memiliki nada Jawa yang khas, di Turki, negara dengan pengalaman panjang sebagai penopang tradisi Islam, juga memiliki cara baca atau nada yang khas dan berbeda dari Arab. Mungkin sekali negara-negara non-Arab yang punya ikatan genealogis dengan peradaban Islam klasik juga memiliki hal serupa. Dengan ini keragaman dan perbedaan justru menjadi kekayaan yang membanggakan.

Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.

Komentar

  1. Berkaitan dengan keterangan yang dianggap sebagai hadits Nabi Saw di atas, baru saja datang kepada kami keterangan yang menyatakan bahwa:
    1. Sosok Tirmidzi yang mengeluarkan hadits tersebut bukanlah Imam Abu Isa al-Tirmidzi, pemilik Kitab Canon Hadits Sunan al-Tirmidzi, melainkan Al-Hakim Al-Tirmidzi, dalam kitabnya, Nawadir al-Ushul.
    2. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani hadits ini dinilai dhaif (lemah). Ulama lain bahkan ada yang menilainya munkar.

    BalasHapus
  2. Menurut Rektor Institut Ilmu Al-Quran, KH Ahsin Sakho Muhammad, cara membaca Al-Quran yang merupakan hasil perkembangan seni dan budaya manusia sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya teknik nada yang bermacam-macam paling tidak harus tetap mengacu pada aturan atau kaidah pokok seperti yang diatur Ilmu Tajwid.

    Dalam hal ini tidak ada dalil keagamaan yang shahih yang melarang untuk menggunakan naghmah selain Arab.

    Menurut beliau juga bahwa secara historis, cara melantunkan Al-Quran menggunakan nagham berasal dari orang-orang Iran. Banyak orang Arab yang justru mempelajarinya ke Parsi, Iran. Meskipun ada 40 jenis cara membaca dengan naghmah, tapi yang dinilai layak hanya ada tujuh, yang masyhur dikenal masyarakat sebagai Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka.

    Beliau melanjutkan bahwa dahulu kala tatkala orang Arab membersihkan Ka'bah, ad orang Parsi yang sedang melantunkan bacaan Al-Quran dengan naghmah atau lagu asal negerinya. Ketika itu orang Arab yang ada di situ kemudian mengikutinya dan menyukainya. Sejak saat itu lahirlah lagu syarqi yang bernuansa ketimuran.

    source: http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/rektor-iiq-sangat-boleh-baca-al-quran-langgam-indonesia.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Berlebihan dalam Urusan Dunia dan Agama

Keteladanan Dari Cak Nur ( Islam, Agama Manusia Sepanjang Masa)

Kata Rasul, Tsumma istaqim